Pages

Subscribe:

Kamis, 28 Mei 2015

Pionir Industri Pelayaran Indonesia PT Samudera Indonesia Tbk


Sejarah Perusahaan
PT Samudera Indonesia Tbk (untuk selanjutnya disebut sebagai “Perusahaan” ataupun “Samudera Indonesia”) memiliki sejarah panjang dalam industri pelayaran nasional. Cikal bakal Samudera Indonesia berawal pada tahun 1953 dimana pendiri perusahaan, Bapak Soedarpo Sastrosatomo mengambil alih NV.
ISTA (Internationale Scheepvart en Transport Agenturen) yang mengageni kapal Isthmian Lines. Dengan adanya PP No. 5/1964 yang menetapkan bahwa perusahaan keagenan pelayaran adalah perusahaan pelayaran yang sudah memiliki kapal sendiri dengan bobot minimal 5.000 DWT maka secara resmi didirikanlah PT Perusahaan Pelayaran Samudera “Samudera Indonesia”. Resmi berdiri pada tanggal 13 November 1964 sebagai perusahaan pelayaran dengan Akta No. 33 tahun 1964 oleh Notaris Soeleman Ardjasasmita, S.H. Setelah memantapkan status legalitasnya, Perusahaan kemudian bergerak untuk memiliki armada kapal pertamanya yaitu MV. Eka Daya Samudera dan MV. Pancaran Sinar. Semenjak masa berdirinya, Perusahaan telah berhasil menjejakkan langkahnya di dunia internasional dengan pengelolaan armada kapal yang menembus rute Eropa. Selain itu, Perusahaan juga telah mengageni perusahaan pelayaran asing seperti Hapag-Lloyd, Tokyo Senpaku Kaisha (TSK), dan Isthmian Steamship Company. Sepanjang sejarah berdirinya, Perusahaan tidak berhenti untuk melakukan pengembangan bisnis dengan melihat peluang yang ada. Hal ini selaras dengan pandangan Bapak Soedarpo Sastrosatomo bahwa Indonesia akan makmur bila aspek distribusi dan komunikasi berada dalam kendali bangsa Indonesia. Konsep inilah yang kemudian dikembangkan oleh Samudera Indonesia dengan memberikan pelayanan angkutan barang melalui darat, laut, atau udara termasuk di dalamnya layanan pergudangan dan bongkar muat dalam sebuah mata rantai yang terpadu.


Manajemen dan Struktur Organisasi
Bagi PT Samudera Indonesia Tbk, tata kelola perusahaan yang baik yaitu menganut prinsip GCG ( Good Corporate Governance) merupakan prinsip yang senantiasa mengarahkan perusahaan dalam mengendalikan seluruh kegiatan usaha, mulai dari operasional, keuangan hingga sumber daya manusia untuk memastikan bahwa kekuasaan dan kewenangan yang diberikan kepada perusahaan dapat dipertanggungjawabkan kepada para pemegang saham serta pemangku kepentingan.
Implementasi GCG senantiasa dilaksanakan sesuai dengan ketentuan undang-undang yang berlaku. Penerapannya dibuat sejalan dengan prinsip Transparency, Accountability, Responsibility, Independency, dan Fairness atau “TARIF”.

Struktur tata kelola yang ada di Perusahaan telah terbentuk dengan mengacu pada Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 40 tahun 2007 tentang Perusahaan Terbatas yang terdiri atas Rapat Umum Pemegang Saham (RUPS), Dewan Komisaris, dan Direksi. Ketiga organ Perusahaan tersebut mempunyai kedudukan yang sama tetapi memiliki kewenangan yang berbeda. Kewenangan ketiga organ perseroan tersebut diatur dalam Anggaran Dasar Perusahaan. Secara khusus, RUPS memiliki kewenangan yang tidak dimiliki oleh kedua organ lainnya.



DEWAN KOMISARIS
Dewan Komisaris bertugas untuk melakukan pengawasan terhadap pengelolaan perusahaan yang dilakukan oleh Direksi serta memberikan rekomendasi terkait dengan kebijakan yang diambil. Dewan Komisaris senantiasa memantau efektivitas kebijakan perusahaan, kinerja, dan proses pengambilan keputusan oleh Direksi. Hasil pengawasan dan pendapat Dewan Komisaris disampaikan dalam RUPST sebagai bagian dari penilaian kinerja Direksi.


DIREKSI
Direksi bertanggung jawab penuh atas pengelolaan kegiatan harian perusahaan untuk mendukung tujuan kinerja dan arahan strategi yang konsisten dan berkesinambungan. setiap Direksi memiliki tugas dan wewenangnya masing-masing sesuai dengan jabatan yang diembannya. Pengangkatan dan pemberhentian Direksi dilakukan melalui RUPS Luar Biasa.


Model Organisasi PT Samudera Indonesia Tbk termasuk dalam model horizontal,  karena Model ini dibuat dengan menarik garis lurus secara horizontal dengan pembagian fungsional masing-masing bersama tugasnya masing-masing yang artinya di dalamnya banyak unit-unit kerja yang memiliki tanggung jawab masing-masing. Misalnya RUPS, Dewan Komisaris dan Direksi memiliki kedudukan yang sama tetapi memiliki kewenangan yang berbeda. Dengan pembagian tugas tersebut dapat membuat perusahaan pelayaran ini menjadi semakin besar di Indonesia.

Referensi :
http://id.wikipedia.org/wiki/Struktur_organisasi

Shanti L. Poesposoetjipto : Belajar dan Ilmu untuk Masa Depan



Kepemimpinan adalah proses mempengaruhi atau memberi contoh oleh pemimpin kepada pengikutnya dalam upaya mencapai tujuan organisasi. Cara alamiah mempelajari kepemimpinan adalah “melakukannya dalam kerja” dengan praktik seperti pemagangan pada seorang seniman ahli, pengrajin, atau praktisi. Dalam hubungan ini sang ahli diharapkan sebagai bagian dari perannya memberikan pengajaran/instruksi.

Shanti Lasminingsih Poesposoetjipto, itulah namanya. Saat ini dia menjabat sebagai Komisaris di perusahaan pelayaran yaitu PT Samudera Indonesia Tbk. Sebelumnya dia pernah memimpin perusahaan tersebut sebagai Direktur Utama.

Rekam jejak kehidupannya sangat luar biasa. Meski ayahnya adalah pemilik perusahaan NVPD Soedarpo Corporation, perusahaan yang semula bergerak di bidang teknologi informasi dan distribusi farmasi, Shanti Lasminingsih Poesposoetjipto tidak otomatis dapat duduk di posisi top di perusahaan ayahnya. Pertama kali bergabung, ia malah ditempatkan pada posisi manajer pada Service Bureau Department NVPD Soedarpo Corporation, yang menjual jasa pengolahan data komputer secara terpadu kepada pihak ketiga. Shanti bekerja bersama para insinyur lulusan Institut Teknologi Bandung (ITB) yang dilatih di luar negeri dan kemudian ditugaskan membangun sebuah pusat pengolahan data komputer. Bahkan, gaji yang diterimanya pun sama dengan rekan-rekan insinyurnya yang lain.

Antara 1974 dan 1997, ia mempelajari segala macam tentang bisnis pelayaran di Samudera Indonesia dan membangun karirnya dalam berbagai proyek teknologi informasi. Pada 1985-1988, Shanti menduduki posisi-posisi penting, seperti koordinator administrasi dan keuangan, serta koordinator bidang usaha komputer dan telekomunikasi.

Shanti juga  menjabat sebagai Senior Business Advisor PT Ngrumat Bondo Utomo (NBU) sebuah holding company yang didirikan Agustus 1997 untuk menjadi payung bagi Samudra Indonesia Group, Asuransi Bintang, Loewe dan Soedarpo Informatika Group. Ia juga duduk di posisi yang sama untuk PT. Praweda Ciptakarsa Informatika and PT. Sumber Daya Praweda Informatika Group (Soedarpo Informatika Group).

Sepeninggal ayahnya, Shanti meneruskan kendali perusahaan. Bersama jajaran kelompok usaha Samudera Indonesia, Soedarpo Informatika, Asuransi Bintang, Indo Marine, dan perusahaan lain yang dirintis orang tuanya bersama rekan-rekannya, dirinya dituntut untuk lebih aktif. Kini Shanti menjadi Direktur Pasific Internet Indonesia, perusahaan penyedia jasa Internet; Chief Operation Officer PT. Praweda Ciptakarsa Informatika, perusahaan penyedia layanan solusi sistem integrasi; dan PT. Sumber Daya Praweda Informatika, software house. Ia juga menjabat Direktur Pengelola PT. Ngrumat Bondo Utomo, perusahaan induk di kelompok usaha Soedarpo Corporation, yang membawahkan beberapa anak perusahaan yang khusus membidangi TI.

Perubahan mulai dilakukan tahun 1993. Shanti menggebrak dengan melakukan assesment (lewat SWOT) di semua lini usaha. Mulailah ia melakukan efisiensi, selain mengambil kebijakan ketat terhadap karyawan agar mempertimbangkan cash flow perusahaan dalam setiap transaksi bisnis.

Dalam sebuah wawancara dia pernah berkata bahwa dia mendapatkan pembelajaran-pembelajaran penting dari ayahnya yaitu “satu aspek yang saya belajar dari Bapak waktu itu adalah kalau kita masuk ke dalam satu perusahaan dan kita berperan sebagai anggota dewan komisaris, nah peran kita kan bukan sebagai pemilik. Berarti kita adalah anggota dewan komisaris di mana para anggota itu mempunyai hak suara yang sama. Di situ tidak bisa berperan persentase kepemilikan. Di situ yang dijaga mungkin aspek governance yang kadang-kadang agak sulit bagi orang biasa yang tidak bergerak di korporasi untuk menyelami itu. Tapi kalau di dalam komisaris dan direksi artinya sama haknya. Semua punya hak suara”. Pemimpin seperti Shanti inilah yang dapat mengerti  dengan menganggap semua jabatan sama dan semua orang punya hak suara untuk menyampaikan pendapat.

Cara memimpin shanti dimulai dengan melihat sistem organisasi. sasaran organisasi bisa dicapai apabila empat komponen sistem organisasi mendukung tercapainya sasaran-sasaran tersebut (lihat skema dibawah, yang diadaptasi karya Shanti L. Poesposoetjipto tentang Board Effectiveness).


Empat komponen sistem organisasi tersebut adalah: (1) Proses Organisasi, (2) Budaya Organisasi, (3) Struktur Organisasi dan (4) Kompetensi Organisasi. Agar para pemimpin organisasi dapat mencapai sasaran-sasarannya, ia harus dapat memimpin, menata dan mengelola keempat komponen sistem tersebut diatas. Ia dapat memulai dengan mempertanyakan "Apakah proses, budaya, struktur dan kompetensi saat ini efektif mendukung pencapaian sasaran saat ini?" atau "Apakah proses, budaya, struktur dan kompetensi saat ini efektif mendukung pencapaian sasaran masa datang?"

Banyak faktor yang dapat mempengaruhi suatu kesuksesan seseorang termasuk Shanti L. Poesposoetjipto.  faktor-faktor yang mempengaruhi kepemimpinan menjadi dua faktor besar yaitu faktor internal dan faktor eksternal. Faktor internal adalah faktor-faktor yang muncul dari diri pemimpin, sedangkan faktor eksternal adalah faktor-faktor yang terkait dengan karakteristik bawahan dan situasi. Termasuk didalamnya situasi organisasi dan sosial.
1.  Faktor Internal, Sebagai seorang pribadi, pemimpin tentu memiliki karakter unik yang membedakannya dengan orang lain. Keunikan ini tentu akan berpengaruh pada pandangan dan cara ia memimpin. Ada karakter bawaan yang menjadi ciri pemimpin sebagai individu, ada kompetensi yang terbentuk melalui proses pematangan dan pendidikan.
2.      Faktor Eksternal, Faktor eksternal jika dikaitkan dengan formula Hersey dan Blanchard, adalah faktor bawahan dan situasi. Faktor bawahan adalah faktor yang disebabkan oleh karakter bawahan, di dalamnya terkait dengan status sosial, pendidikan, pekerjaan, harapan, ideologi, agama dll. Faktor-faktor itu tentu akan menentukan bagaimana pemimpin mengatur dan mempengaruhinya. Jika bawahan itu adalah siswa, maka pemimpin akan menjalankan pola kepemimpinan sesuai dengan karakter siswa. Karakter siswa pun akan berbeda-beda, ada yang belum dewasa sehingga pemimpin mendekatinya dengan pendekatan pedagogi, ada pula siswa yang sudah dewasa sehingga memerlukan pendekatan andragogi. Faktor eksternal lain adalah faktor situasi. Situasi ini berkaitan dengan aspek waktu, tempat, tujuan, karakteristik organisasi dll. Bertalian dengan waktu, perkembangan ilmu dan pengetahuan mempengaruhi cara pandang dan budaya manusia. Perkembangan itu berdampak pula pada perubahan konsep kepemimpinan.

Kesimpulannya adalah faktor internal lah yang menjadikannya pemimpin yang sukses. Dalam memimpin suatu organisasi dibutuhkan jiwa seorang pemimpin yang mau bekerja keras dan berusaha dalam melakukan suatu pekerjaan. Ini membuktikan bahwa Shanti tidak dengan mudah mendapatkan posisi atas di perusahaan ayahnya. Dia bekerja keras dari posisi manajer ke posisi top di perusahaan tersebut. Oleh ayahnya dia dituntut untuk berusaha dan mempunyai bekal mandiri. Selain itu, mau mempelajari hal-hal baru karena yang namanya ilmu tidak ada kata rugi . Seperti yang Shanti L. Poesposoetjipto katakan “Belajar dan Ilmu untuk Masa Depan”.

Referensi :
http://kennarotama.blogspot.com/2010_11_01_archive.html

Minggu, 10 Mei 2015

Masuknya Walisongo Dalam Mempengaruhi Budaya Nusantara

Pengertian Walisongo
Walisongo atau Walisanga dikenal sebagai penyebar agama Islam di tanah Jawa pada abad ke 14. Mereka tinggal di tiga wilayah penting pantai utara Pulau Jawa, yaitu Surabaya-Gresik-Lamongan-Tuban di Jawa Timur, Demak-Kudus-Muria di Jawa Tengah, dan Cirebon di Jawa Barat.
Era Walisongo adalah era berakhirnya dominasi Hindu-Budha dalam budaya Nusantara untuk digantikan dengan kebudayaan Islam. Mereka adalah simbol penyebaran Islam di Indonesia, khususnya di Jawa. Tentu banyak tokoh lain yang juga berperan. Namun peranan mereka yang sangat besar dalam mendirikan Kerajaan Islam di Jawa, juga pengaruhnya terhadap kebudayaan masyarakat secara luas serta dakwah secara langsung, membuat para Walisongo ini lebih banyak disebut dibanding yang lain.
Ada beberapa pendapat mengenai arti Walisongo. Pertama adalah wali yang sembilan, yang menandakan jumlah wali yang ada sembilan, atau sanga dalam bahasa Jawa. Pendapat lain menyebutkan bahwa kata songo/sanga berasal dari kata tsana yang dalam bahasa Arab berarti mulia. Pendapat lainnya lagi menyebut kata sana berasal dari bahasa Jawa, yang berarti tempat.
Pendapat lain yang mengatakan bahwa Walisongo adalah sebuah majelis dakwah yang pertama kali didirikan oleh Sunan Gresik (Maulana Malik Ibrahim) pada tahun 1404 Masehi (808 Hijriah). Para Walisongo adalah pembaharu masyarakat pada masanya. Pengaruh mereka terasakan dalam beragam bentuk manifestasi peradaban baru masyarakat Jawa, mulai dari kesehatan, bercocok- tanam, perniagaan, kebudayaan, kesenian, kemasyarakatan, hingga ke pemerintahan.

Sejarah walisongo
Dalam kitab Kanzul ‘Hum yang ditulis oleh Ibn Bathuthah yang kini tersimpan di Museum Istana Turki di Istanbul, disebutkan bahwa Walisongo dikirim oleh Sultan Muhammad I. Awalnya, ia pada tahun 1404 M (808 H) mengirim surat kepada pembesar Afrika Utara dan Timur Tengah yang isinya meminta dikirim sejumlah ulama yang memiliki kemampuan di berbagai bidang untuk diberangkatkan ke pulau Jawa.
Jadi, Walisongo sesungguhnya adalah para dai atau ulama yang diutus khalifah di masa Kekhilafahan Utsmani untuk menyebarkan Islam di Nusantara. Dan jumlahnya ternyata tidak hanya sembilan (Songo). Ada 6 angkatan yang masing-masing jumlahnya sekitar sembilan orang. Memang awalnya dimulai oleh angkatan I yang dipimpin oleh Syekh Maulana Malik Ibrahim, asal Turki, pada tahun 1400 an. Ia yang ahli politik dan irigasi itu menjadi peletak dasar pendirian kesultanan di Jawa sekaligus mengembangkan pertanian di Nusantara. Seangkatan dengannya, ada dua wali dari Palestina yang berdakwah di Banten. Yaitu Maulana Hasanudin, kakek Sultan Ageng Tirtayasa, dan Sultan Aliudin. Jadi, masyarakat Banten sesungguhnya punya hubungan biologis dan ideologis dengan Palestina.
Lalu ada Syekh Ja’far Shadiq dan Syarif Hidayatullah yang di sini lebih dikenal dengan sebutan Sunan Kudus dan Sunan Gunung Jati. Keduanya juga berasal dari Palestina. Sunan Kudus mendirikan sebuah kota kecil di Jawa Tengah yang kemudian disebut Kudus – berasal dari kata al Quds (Jerusalem).
Dari para wali itulah kemudian Islam menyebar ke mana-mana hingga seperti yang kita lihat sekarang. Oleh karena itu, sungguh aneh kalau ada dari umat Islam sekarang yang menolak khilafah. Itu sama artinya ia menolak sejarahnya sendiri, padahal nenek moyangnya mengenal Islam tak lain dari para ulama yang diutus oleh para khalifah.
Islam masuk ke Indonesia pada abad 7M (abad 1H), jauh sebelum penjajah datang. Islam terus berkembang dan mempengaruhi situasi politik ketika itu. Berdirilah kesultanan-kesultanan Islam seperti di Sumatera setidaknya diwakili oleh institusi kesultanan Peureulak (didirikan pada 1 Muharram 225H atau 12 November tahun 839M), Samudera Pasai, Aceh Darussalam, Palembang; Ternate, Tidore dan Bacan di Maluku (Islam masuk ke kerajaan di kepulauan Maluku ini tahun 1440); Kesultanan Sambas, Pontianak, Banjar, Pasir, Bulungan, Tanjungpura, Mempawah, Sintang dan Kutai di Kalimantan.
Adapun kesultanan di Jawa antara lain: kesultanan Demak, Pajang, Cirebon dan Banten. Di Sulawesi, Islam diterapkan dalam institusi kerajaan Gowa dan Tallo, Bone, Wajo, Soppeng dan Luwu. Sementara di Nusa Tenggara penerapan Islam di sana dilaksanakan dalam institusi kesultanan Bima. Setelah Islam berkembang dan menjelma menjadi sebuah institusi maka hukum-hukum Islam diterapkan secara menyeluruh dan sistemik dalam kesultanan-kesultanan tersebut.

Periode Dakwah Walisongo
Kita sudah mengetahui bahwa mereka adalah Maulana Malik Ibrahim ahli tata pemerintahan negara dari Turki, Maulana Ishaq dari Samarqand yang dikenal dengan nama Syekh Awwalul Islam, Maulana Nur Ridwan Ahmad Jumadil Kubra dari Mesir, Maulana Muhammad al-Maghrabi dari Maroko, Maulana Malik Israil dari Turki, Maulana Hasanuddin dari Palestina, Maulana Aliyuddin dari Palestina, dan Syekh Subakir dari Persia. Sebelum ke tanah Jawa, umumnya mereka singgah dulu di Pasai. Adalah Sultan Zainal Abidin Bahiyan Syah penguasa Samudra Pasai antara tahun 1349-1406 M yang mengantar Maulana Malik Ibrahim dan Maulana Ishaq ke Tanah Jawa.
Pada periode berikutnya, antara tahun 1421-1436 M datang tiga da’i ulama ke Jawa menggantikan da’i yang wafat. Mereka adalah Sayyid Ali Rahmatullah putra Syaikh Ibrahim dari Samarkand (yang dikenal dengan Ibrahim Asmarakandi) dari ibu Putri Raja Campa-Kamboja (Sunan Ampel), Sayyid Ja’far Shadiq dari Palestina (Sunan Kudus), dan Syarif Hidayatullah dari Palestina cucu Raja Siliwangi Pajajaran (Sunan Gunung Jati).
Mulai tahun 1463M makin banyak da’i ulama keturunan Jawa yang menggantikan da’i yang wafat atau pindah tugas. Mereka adalah Raden Paku (Sunan Giri) putra Maulana Ishaq dengan Dewi Sekardadu, putri Prabu Menak Sembuyu, Raja Blambangan; Raden Said (Sunan Kalijaga) putra Adipati Wilatikta Bupati Tuban; Raden Makdum Ibrahim (Sunan Bonang); dan Raden Qasim Dua (Sunan Drajad) putra Sunan Ampel dengan Dewi Condrowati, putri Prabu Kertabumi Raja Majapahit.
Banyaknya gelar Raden yang berasal dari kata Rahadian yang berarti Tuanku di kalangan para wali, menunjukkan bahwa dakwah Islam sudah terbina dengan subur di kalangan elit penguasa Kerajaan Majapahit. Sehingga terbentuknya sebuah kesultanan tinggal tunggu waktu.
Hubungan tersebut juga nampak antara Aceh dengan Khilafah Utsmaniyah. Bernard Lewis menyebutkan bahwa pada tahun 1563M, penguasa Muslim di Aceh mengirim seorang utusan ke Istambul untuk meminta bantuan melawan Portugis sambil meyakinkan bahwa sejumlah raja di kawasan tersebut telah bersedia masuk agama Islam jika kekhalifahan Utsmaniyah mau menolong mereka.
Saat itu kekhalifahan Utsmaniyah sedang disibukkan dengan berbagai masalah yang mendesak, yaitu pengepungan Malta dan Szigetvar di Hungaria, dan kematian Sultan Sulaiman Agung. Setelah tertunda selama dua bulan, mereka akhirnya membentuk sebuah armada yang terdiri dari 19 kapal perang dan sejumlah kapal lainnya yang mengangkut persenjataan dan persediaan untuk membantu masyarakat Aceh yang terkepung.
Namun, sebagian besar kapal tersebut tidak pernah tiba di Aceh. Banyak dari kapal-kapal tersebut dialihkan untuk tugas yang lebih mendesak yaitu memulihkan dan memperluas kekuasaan Utsmaniyah di Yaman. Ada satu atau dua kapal yang tiba di Aceh. Kapal-kapal tersebut selain membawa pembuat senjata, penembak, dan teknisi juga membawa senjata dan peralatan perang lainnya, yang langsung digunakan oleh penguasa setempat untuk mengusir Portugis. Peristiwa ini dapat diketahui dalam berbagai arsip dokumen negara Turki.
Hubungan ini nampak pula dalam penganugerahan gelar-gelar kehormatan diantaranya Abdul Qadir dari Kesultanan Banten misalnya, tahun 1048 H (1638 M) dianugerahi gelar Sultan Abulmafakir Mahmud Abdul Kadir oleh Syarif Zaid, Syarif Mekkah saat itu. Demikian pula Pangeran Rangsang dari Kesultanan Mataram memperoleh gelar Sultan dari Syarif Mekah tahun 1051 H (1641 M ) dengan gelar Sultan Abdullah Muhammad Maulana Matarami. Pada tahun 1638 M, sultan Abdul Kadir Banten berhasil mengirim utusan membawa misi menghadap syarif Zaid di Mekah.
Hasil misi ke Mekah ini sangat sukses, sehingga dapat dikatakan kesultanan Banten sejak awal memang meganggap dirinya sebagai kerajaan Islam, dan tentunya termasuk Dar al-Islam yang ada di bawah kepemimpinan Khalifah Turki Utsmani di Istanbul. Sultan Ageng Tirtayasa mendapat gelar sultan dari Syarif mekah.
Hubungan erat ini nampak juga dalam bantuan militer yang diberikan oleh Khilafah Islamiyah. Dalam Bustanus Salatin karangan Nuruddin ar-Raniri disebutkan bahwa kesultanan Aceh telah menerima bantuan militer berupa senjata disertai instruktur yang mengajari cara pemakaiannya dari Khilafah Turki Utsmani (1300-1922).
Bernard Lewis (2004) menyebutkan bahwa pada tahun 1563 penguasa Muslim di Aceh mengirim seorang utusan ke Istanbul untuk meminta bantuan melawan Portugis. Dikirimlah 19 kapal perang dan sejumlah kapal lainnya pengangkut persenjataan dan persediaan; sekalipun hanya satu atau dua kapal yang tiba di Aceh.
Tahun 1652 kesultanan Aceh mengirim utusan ke Khilafah Turki Utsmani untuk meminta bantuan meriam. Khilafah Turki Utsmani mengirim 500 orang pasukan orang Turki beserta sejumlah besar alat tembak (meriam) dan amunisi. Tahun 1567, Sultan Salim II mengirim sebuah armada ke Sumatera, meski armada itu lalu dialihkan ke Yaman. Bahkan Snouck Hourgroye menyatakan, “Di Kota Makkah inilah terletak jantung kehidupan agama kepulauan Nusantara, yang setiap detik selalu memompakan darah segar ke seluruh penduduk Muslimin di Indonesia.” Bahkan pada akhir abad 20, Konsul Turki di Batavia membagi-bagikan al-Quran atas nama Sultan Turki.
Di istambul juga dicetak tafsir al-Quran berbahasa melayu karangan Abdur Rauf Sinkili yang pada halaman depannya tertera “dicetak oleh Sultan Turki, raja seluruh orang Islam”. Sultan Turki juga memberikan beasiswa kepada empat orang anak keturunan Arab di Batavia untuk bersekolah di Turki.
Pada masa itu, yang disebut-sebut Sultan Turki tidak lain adalah Khalifah, pemimpin Khilafah Utsmaniyah yang berpusat di Turki. Selain itu, Snouck Hurgrounye sebagaimana dikutip oleh Deliar Noer mengungkapkan bahwa rakyat kebanyakan pada umumnya di Indonesia, terutama mereka yang tinggal di pelosok-pelosok yang jauh di penjuru tanah air, melihat stambol (Istambul, kedudukan Khalifah Usmaniyah) masih senantiasa sebagai kedudukan seorang raja semua orang mukmin yang kekuasaannya mungkin agaknya untuk sementara berkurang oleh adanya kekuasaan orang-orang kafir, tetapi masih dan tetap [dipandang] sebagai raja dari segala raja di dunia. Mereka juga berpikir bahwa “sultan-sultan yang belum beragama mesti tunduk dan memberikan penghormatannya kepada khalifah.” Demikianlah, dapat dikatakan bahwa Islam berkembang di Indonesia dengan adanya hubungan dengan Khilafah Turki Utsmani.
Dengan demikian, keterkaitan Nusantara sebagai bagian dari Khilafah, baik saat Khilafah Abbasiyah Mesir dan Khilafah Utsmaniyah telah nampak jelas pada pengangkatan Meurah Silu menjadi Sultan Malikussaleh di Kesultanan Samudra-Pasai Darussalam oleh Utusan Syarif Mekkah, dan pengangkatan Sultan Abdul Kadir dari Kesultanan Banten dan Sultan Agung dari Kesultanan Mataram oleh Syarif Mekkah.
Dengan mengacu pada format sistem kehilafahan saat itu, Syarif Mekkah adalah Gubernur (wali) pada masa Khilafah Abbasiyah dan Khilafah Utsmaniyah untuk kawasan Hijaz. Jadi, wali yang berkedudukan di Mekkah bukan semata penganugerahan gelar melainkan pengukuhannya sebagai sultan. Sebab, sultan artinya penguasa. Karenanya, penganugerahan gelar sultan oleh wali lebih merupakan pengukuhan sebagai penguasa Islam. Sementara itu, kelihatan Aceh memiliki hubungan langsung dengan pusat khilafah Utsmaniyah di Turki.

Nama Para Walisongo
Dari nama para Walisongo tersebut, pada umumnya terdapat sembilan nama yang dikenal sebagai anggota Walisongo yang paling terkenal, yaitu:

·         Sunan Gresik atau Maulana Malik Ibrahim
·         Sunan Ampel atau Raden Rahmat
·         Sunan Bonang atau Raden Makhdum Ibrahim
·         Sunan Drajat atau Raden Qasim
·         Sunan Kudus atau Ja'far Shadiq
·         Sunan Giri atau Raden Paku atau Ainul Yaqin
·         Sunan Kalijaga atau Raden Said
·         Sunan Muria atau Raden Umar Said
·         Sunan Gunung Jati atau Syarif Hidayatullah